Kasus
Kasus Mulyana dalam Perspektif Etika

     Ditinjau dari setting teori keagenan (agency theory), ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu (1) pihak pemberi kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (2) pihak penerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal adalah KPU, dan (3) pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor, yang perannya diharapkan sebagai pihak independen, berintegritas, dan kredibel, untuk meyakinkan kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai pemberi kerja, dan KPU sebagai penerima kerja.
     Pemberi kerja mendelegasikan wewenang dengan ketentuan-ketentuan tertentu, dan KPU telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fakta-fakta empiris.
Berdasar setting teori keagenan di atas dan mencuatnya kasus Mulyana W. Kusumah, maka pertanyaan yang muncul adalah, etiskah tindakan ketiga pihak tersebut? Artikel ini mencoba menganalisa dan menyimpulkannya dalam perspektif teori etika.
     Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor), apakah auditor keuangan publik seperti kasus keuangan KPU maupun auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi.
     Dalam konteks kasus Mulyana W. Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W. Kusumah, walaupun dengan tujuan ‘mulia’, yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Pembahasan

     Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity), bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan profesi (due care). Dalam konteks kode etik profesi akuntan inilah, kasus Mulyana W Kusumah bisa dianalisis, apakah tindakan mereka (ketiga pihak), melanggar etika atau tidak.
Dalam kasus di atas telah jelas bahwa auditor BPK melakukan prosedur audit yang salah dan bertentangan dengan kode etik akuntan. Auditor tersebut menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya sebagai auditor yakni untuk mendapatkan bukti dari pihak yang diperiksa. Dari segi moral, bisa dikatakan tindakan itu benar tapi tidak dari segi etika profesi. Sudah ada prosedur-prosedur dan standar yang harus dilakukan auditor untuk mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut dari masuk hingga digunakan oleh KPU. Dengan penggunaan standar dan prosedur yang benar, tentu akan terungkap kebenaran apakah terjadi hal negatif misalnya korupsi. Disini bisa diketahui bahwa auditor tersebut dari awal telah menduga dan sangat mencurigai bahwa telah terjadi korupsi sehingga bisa dikatakan auditor tidak objektif dan independen. Selain itu, dia dapat juga diragukan keahlian profesional auditingnya karena tidak percaya akan kemampuan dengan melakukan tindakan jebakan seperti itu. Profesi audit tersebut harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan           pada    etika    profesi.
0 Responses

Posting Komentar