21 November 2010

Kasus
Masih ada kasus lainnya, diantaranya Menurut berita yang bersumber dari situs Gatra, pada bulan Nopember 2002 terjadi sanksi yang dijatuhkan oleh Menkeu terhadap empat akuntan publik. Sanksi tersebut berupa pencabutan ijin Drs. Andi B. Surya MBA, Drs. Alanus Salaki, Drs John Yoranouw dan Drs. Arief Hendrawinata, karena melakuakan kesalahan dalam proses audit dan tidak sesuai dengan standar profesi. Sanksi yang ditetapkan (1) Dilarang memberikan jasa atestasi termasuk audit umum, reviw, audit kinerja, audit kerja dan jasa non atestasi; dan (2) Dilarang menjadi pemimpin KAP namun tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan dan wajib mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan. Adapun penggantian pemimpinan rekan KAP harus dilaporkan paling lambat dua minggu sejak keputusan tersebut dijatuhkan. Mengenai peraturan yang menjadi dasar hukum saksi tersebut adalah Kepmenkeu No. 423/KMK.06/2002
Pembahasan
     Kesalahan yang dilakukan akuntan publik dalam kasus di atas adalah kesalahan dalam proses audit. Hal ini sangat memprihatinkan karena kesalahan yang dilakukan oleh empat akuntan publik tersebut sangat mendasar. Kesalahan akuntan publik tersebut tidak mencerminkan Prinsip-prinsip etika profesi yang tertuang dalam Kode Etik Umum Akuntan Indonesia. Para akuntan tersebut tidak berkompeten, tidak professional dan tidak bisa menjalankan maupun mematuhi standar teknis yang ditetapkan. Dikatakan tidak berkompeten karena akuntan terebut tidak memiliki kompetensi dan ketekunan serta tidak mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesionalnya yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir. Akuntan tersebut juga tidak professional karena tidak berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan gagal menjauhi tindakan yang dapat mendiskriditkan profesi. Terakhir, akuntan tersebut tidak sesuai dengan Standar teknis, yaitu setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati
Kasus 1
     Pada tahun 2002 ditemukan penggelembungan laba bersih pada laporan keuangan PT. Kimia Farma tahun buku 2001, hal tersebut berawal dari temuan akuntan publik Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM) soal ketidakwajaran dalam laporan keuangan kurun semester I tahun 2001. Mark up itu senilai Rp 32,7 Milyar, karena dalam laporan keuangan yang seharusnya laba Rp 99,6 Milyar ditulisnya Rp 132,3 milyar, dengan nilai penjualan bersih Rp 1,42 trilyun.
     Untuk diketahui bahwa yang mengaudit tahun buku 2001 adalah kantor akuntan HTM itu sendiri, hanya berbeda partner. Pada tahun buku 2001 yang menjadi partner dari KAP HTM adalah Syamsul Arif, sedangkan yang menjadi partner KAP HTM dalam pengauditan semester I tahun buku 2002 adalah Ludovicus Sensi W.
     Menurut pihak PT. Kimia Farma menduga bahwa ketidakwajaran tersebut mungkin berbeda di pos inventory stock. Pihak Bapepam selaku pengawas pasar modal mengungkapkan tentang kasus PT. Kimia Farma sebagai berikut: Dalam rangka restrukturisasi PT.Kimia Farma Tbk, Ludovicus Sensi W selaku partner dari KAP HTM yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan PT. Kimia Farma untuk masa lima bulan yang berakhir 31 Mei 2002, menemukan dan melaporkan adanya kesalahan dalam penilaian persediaan barang dan jasa dan kesalahan pencatatan penjualan untuk tahun yang berakhir per-31 Desember 2001.
     Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan dalam harian Kontan yang menyatakan bahwa kementrian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik pemerintah di PT. Kimia Farma setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam diperoleh bukti sebagai berikut: Terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT. Kimia Farma, adapun dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 milyar, yang merupakan 2,3% dari penjualan, dan 24,7% dari laba bersih PT. Kimia Farma Tbk.
Selain itu kesalahan juga terdapat pada Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada: Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 2,7 miliar. Unit logistik sentral, kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar. Unit pedagang besar farmasi (PBF), kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar.
Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
     Kesalahan-kesalahan penyajian tersebut dilakukan oleh direksi periode 1998 – juni 2002 dengan cara: Membuat dua daftar harga persediaan yang berbeda masing-masing diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master price yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT Kimia Farma. Master price per-3 Februari 2002 merupakan master price yang telah disesuaikan nilainya (mark up) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma per 31 Desember 2001. Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit bahan baku. Pencatatan ganda dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan. Berdasarkan uraian tersebut tindakan yang dilakukan oleh PT Kimia Farma terbukti melanggar peraturan Bapepam no. VIII.G.7 tentang pedoman penyajian laporan keuangan.
     Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, terbukti bahwa akuntan yang melakukan audit laporan keuangan per 31 Desember 2001 PT Kimia Farma telah melakukan prosedur audit termasuk prosedur audit sampling yang telah diatur dalam SPAP dan tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan membantu manajemen PT. Kimia Farma dalam penggelembungan keuntungan tersebut. Namun demikian proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya mark up laba yang dilakukan PT. Kimia Farma.
     Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan pasal 102 UU nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal 61 PP no.45 tahun 1995 tentang penyelenggaraan kegiatan bidang pasar modal maka PT. Kimia Farma Tbk, dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp 500 juta.
     Sesuai pasal 5 huruf N UU no.8 tahun 1995 tentang pasar modal maka:
Direksi lama PT. Kimia Farma periode 1998 – juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1 milyar untuk disetor ke kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per-31 Desember 2001. Ludovicus Sensi W rekan KAP HTM selaku auditor PT. Kimia Farma diwajibkan membayar sejumlah Rp 100 juta untuk disetor ke kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT. Kimia Farma tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai SPAP dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.

Pembahasan
     Dalam kasus di atas, Ludovicus Sensi W., rekan KAP HTM dikenai denda sebesar Rp 100 juta karena dianggap tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba meskiun telah melakukan prosedur audit sesai SPAP dan tidak ditemukan unsur kesengajaan atas kasus ini. Hal ini menunjukkan bahwa, Ludovicus kurang kompeten dalam bidang audit. Hal ini bertentangan dengan standar audit pertama dan ketiga sebagai berikut.
    Standar umum pertama berbunyi:
“Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan
pelat ihan teknis yang cukup sebagai auditor. "
Standar umum pertama menegaskan bahwa betapa pun tingginya kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar auditing ini, jika ia tidak memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing.
     Untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup. Pelatihan ini harus secara memadai mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Pendidikan formal auditor independen dan pengalaman profesionalnya saling melengkapi satu sama lain. Setiap auditor independen yang menjadi penanggung jawab suatu perikatan harus menilai dengan baik kedua persyaratan profesional ini dalam menentukan luasnya supervisi dan review terhadap hasil kerja para asistennya.
     Standar umum ketiga berbunyi:
“Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiranprofesionalnya dengan cermat dan seksama. "
Standar ini menuntut auditor independen untuk merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya dengan menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama.
Penggunaan kemahiran profesional dengan kecermatan dan keseksamaan menekankan tanggungjawab setiap profesional yang bekerja dalam organisasi auditor independen untuk mengamati standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menyangkut apa yang dikerjakan auditor dan bagaimana kesempurnaan pekerjaannya tersebut. Para auditor harus ditugasi dan disupervisi sesuai dengan tingkat pengetahuan, keterampilan,dan kemampuan sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengevaluasi bukti audit yang mereka periksa.
Kasus
Kasus Mulyana dalam Perspektif Etika

     Ditinjau dari setting teori keagenan (agency theory), ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu (1) pihak pemberi kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (2) pihak penerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal adalah KPU, dan (3) pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor, yang perannya diharapkan sebagai pihak independen, berintegritas, dan kredibel, untuk meyakinkan kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai pemberi kerja, dan KPU sebagai penerima kerja.
     Pemberi kerja mendelegasikan wewenang dengan ketentuan-ketentuan tertentu, dan KPU telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fakta-fakta empiris.
Berdasar setting teori keagenan di atas dan mencuatnya kasus Mulyana W. Kusumah, maka pertanyaan yang muncul adalah, etiskah tindakan ketiga pihak tersebut? Artikel ini mencoba menganalisa dan menyimpulkannya dalam perspektif teori etika.
     Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor), apakah auditor keuangan publik seperti kasus keuangan KPU maupun auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi.
     Dalam konteks kasus Mulyana W. Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W. Kusumah, walaupun dengan tujuan ‘mulia’, yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Pembahasan

     Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity), bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan profesi (due care). Dalam konteks kode etik profesi akuntan inilah, kasus Mulyana W Kusumah bisa dianalisis, apakah tindakan mereka (ketiga pihak), melanggar etika atau tidak.
Dalam kasus di atas telah jelas bahwa auditor BPK melakukan prosedur audit yang salah dan bertentangan dengan kode etik akuntan. Auditor tersebut menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya sebagai auditor yakni untuk mendapatkan bukti dari pihak yang diperiksa. Dari segi moral, bisa dikatakan tindakan itu benar tapi tidak dari segi etika profesi. Sudah ada prosedur-prosedur dan standar yang harus dilakukan auditor untuk mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut dari masuk hingga digunakan oleh KPU. Dengan penggunaan standar dan prosedur yang benar, tentu akan terungkap kebenaran apakah terjadi hal negatif misalnya korupsi. Disini bisa diketahui bahwa auditor tersebut dari awal telah menduga dan sangat mencurigai bahwa telah terjadi korupsi sehingga bisa dikatakan auditor tidak objektif dan independen. Selain itu, dia dapat juga diragukan keahlian profesional auditingnya karena tidak percaya akan kemampuan dengan melakukan tindakan jebakan seperti itu. Profesi audit tersebut harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan           pada    etika    profesi.
Kasus
KPMG Terlibat Upaya Manipulasi Pajak

September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York. Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat eksekutifnya.
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun terselamatan.

Pembahasan
     Kasus di atas merupakan contoh penyebab turunnya kredibilitas seorang akuntan, yakni melakukan penyuapan.  Untuk meminimalkan pajak Easman, maka akuntan publik untuk perusahaan tersebut menyuap petugas pajak dan menerbitkan faktur palsu atas uang yang dikeluarkan untuk menyuap petugas pajak tersebut dan memasukannya sebagai biaya jasa profesional. Yang seharusnya akuntan publik tersebut tidak melakukannya. Setiap akuntan harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan prinsip integritas dan objektivitas.
Kondisi ini membuat masyarakat mempertanyakan kredibilitas profesi akuntan publik. Erosi kepercayaan terhadap profesi akuntansi semakin meningkat, padahal eksistensi profesi sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa profesi. Perdagangan opini auditor menjadi hal yang “wajar” ketika independensi dan objektivitas sudah terabaikan. Kepercayaan masyarakat perlu dipulihkan dan hal itu sepenuhnya tergantung pada praktek profesional yang dijalankan para akuntan. Salah satunya yaitu independensi agar tidak menyuap maupun disuap oleh pihak yang berkepentingan maupun tidak.
Kasus 1
     Kasus manipulasi pembukuan yang masih dapat kita ingat adalah kasus Enron Corp. Laporan keuangan Enron sebelumnya dinyatakan wajar tanpa pengecualian oleh kantor akuntan Arthur Anderson, yang merupakan salah satu KAP yang termasuk dalam jajaran big five, secara mengejutkan dinyatakan pailit pada 2 Desember 2001. Sebagian pihak menyatakan kepailitan tersebut salah satunya karena Arthur Anderson memberikan dua jasa sekaligus, yaitu sebagai auditor dan konsultan bisnis.
     KAP Arthur Andersen telah mengaudit Enron sejak 1985 dan selalu memberikan opini wajar tanpa syarat sampai tahun 2000. Arthur Andersen juga memberikan jasa konsultasi mengenai pembentukan SPE-SPE tersebut diatas. Dengan berperan sebagai auditor merangkap konsultan management, Andersen menerima fee dobel, yaitu dari konsultasi menerima US$ 27 juta dan dari jasa audit mendapat US$ 25 juta.
     KAP Arthur Andersen memiliki kebijakan pemusnahan dokumen yang tidak menjadi bagian dari kertas kerja audit formal. Selain itu, jika Arthur Andersen sedang memenuhi panggilan pengadilan berkaitan dengan perjanjian audit tertentu, tidak boleh ada dokumen yang dimusnahkan. Arthur Andersen memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan. Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur

Pembahasan

     Dalam kasus di atas, KAP Arthur Andersen telah melanggar kode etik profesi akuntan dengan melakukan dua kesalahan yakni memberikan dua jasa sekaligus yakni sebagai auditor dan konsultan bisnis, serta melanggar hukum dengan memusnahkan dokumen pada  periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan.
     Kesalahan pertama yakni memberikan dua jasa sekaligus. Hal ini dikarenakan selama rentang waktu 30 tahunan, bisnis konsultasi Andersen menjadi lebih menguntungkan daripada usaha aslinya. Dampaknya pertumbuhan menjadi prioritas dan penekanannya pada perekrutan dan mempertahankan klien-klien besar berdampak pada kualitas dan independensi audit. Fokus pada pertumbuhan ini menghasilkan perubahan yang mendasar pada budaya perusahaan. Tetapi model ini menjadikan Securities and Exchange Commission (SEC) memberikan peringatan berkaitan independensi auditing. Ketua SEC yang prihatin akan hal ini menyarankan aturan-aturan baru untuk membatasi layanan di luar audit. Tetapi saran ini ditolak Andersen. Kemudian Andersen melalui pengadilan memisahkan fungsi akuntansi dan konsultasi bisnis. Namun seringkali terjadi pertikaian dan pertentangan di antara fungsi-fungsi ini.  Inilah awal keruntuhan KAP Arthur Andersen
     Pemberian dua jasa sekaligus mengindikasikan tidak adanya independensi seorang akuntan publik dalam profesinya. KAP Arthur Andersen lebih mengutamakan keuntungan berupa fee ganda dari pemberian dua jasa dibanding kode etiknya sebagai akuntan publik.
Kesalahan kedua yakni melakukan hal tidak etis dan melanggar hukum yakni  memusnahkan dokumen penting pada  periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan. Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Disini Andersen telah mengingkari sikap profesionallisme sebagai akuntan publik independen dengan melakukan tindakan menerbitkan laporan audit yang salah dan menyesatkan sehingga memusnahkan bukti-bukti yang menunjukkan mereka telah menerbitkan laporan audit yang salah.
     Selain itu, Enron merupakan salah satu perusahaan besar pertama yang melakukan out sourcing secara total atas fungsi internal audit perusahaan yakni:
1.      Mantan Chief Audit Executif Enron (Kepala internal audit) semula
adalah partner KAP Andersen yang di tunjuk sebagai akuntan publik perusahaan.
2.      Direktur keuangan Enron berasal dari KAP Andersen.
3.      Sebagian besar Staf akunting Enron berasal dari KAP Andersen.
Dari hal itu terbukti bahwa akuntan yang bekerja sebagai internal audit Enron tersebut telah melanggar kode etik dengan menghilangkan keindependensiannya untuk menjadi staf internal Enron yang merupakan kliennya.
     Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa Enron dan KAP Arthur Andersen sudah melanggar kode etik yang seharusnya menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan bukan untuk dilanggar. Mungkin saja pelanggaran tersebut awalnya mendatangkan keuntungan bagi Enron, tetapi akhirnya dapat menjatuhkan kredibilitas bahkan menghancurkan Enron dan KAP Arthur Andersen. Dalam kasus ini, KAP yang seharusnya bisa bersikap independen tidak dilakukan oleh KAP Arthur Andersen. Karena perbuatan mereka inilah, kedua-duanya mengalami kehancuran dimana Enron bangkrut dengan meninggalkan hutang milyaran dolar sedangakn KAP Arthur Andersen sendiri kehilangan keindependensiannya dan kepercayaan dari masyarakat terhadap KAP tersebut sehingga ditutup. Selain itu, juga berdampak pada karyawan yang bekerja di KAP Arthur Andersen dimana mereka menjadi sulit untuk mendapatkan pekerjaan akibat kasus ini.

Kasus 1
ICW Minta Sembilan Kantor Akuntan Publik Diusut Jakarta
19 April 2001 16:39

Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun     1995-1997.
Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi.
Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,” tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi akuntan.

Kasus 2
     Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh para akuntan seperti skandal Enron, Worldcom dan Perusahaan Perusahaan Besar di AS. Wordcom terlibat rekayasa laporan keuangan milyaran dollar AS. Dalam pembukuannya Worldcom mengumumkan laba sebesar USD 3.9 milyar antara Januari 2001 sampai Maret 2002. Hal ini merupakan rekayasa akuntansi. Kasus penipuan ini telah menenggelamkan kepercayaan investor terhadap Korporasi AS dan menyebabkan harga saham dunia menurun serentak di akhir Juni 2002. Dalam kasus ini, Scott Aullifan (CFO) dituduh telah melakukan tindakan kriminal di bidang keuangan dengan kemungkinan hukuman 10 tahun penjara. Pada saat itu, para investor memilih untuk menghentikan atau mengurangi aktivitasnya di bursa saham.

Kasus 3
     Demikian juga di Indonesia banyak pelanggaran yang dilakukan para akuntan, seperti pada 750 Penanam Modal Asing (PMA) terindikasi tidak membayar pajak, dengan cara melaporkan rugi selama lima tahun terakhir secara berturut-turut. Dalam kasus ini terungkap bahwa pihak manajemen PMA melakukan konspirasi dengan auditor dari akuntan publik dalam melakukan manipulasi laba yang menguntungkan dirinya dan korporasi, sehingga merugikan banyak pihak dan pemerintah. Kemungkinan telah terjadi mekanisme penyuapan (Bribery) dalam kasus tersebut.
Kasus 4
     Bapepam menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great River. Tak tertutup kemungkinan, Akuntan Publik yang menyajikan laporan keuangan Great River itu ikut menjadi tersangka. Menteri Keuangan (Menkeu) RI terhitung sejak tanggal 28 Nopember 2006 telah membekukan izin Akuntan Publik (AP) Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun. Sanksi tersebut diberikan karena Justinus terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT Great River International Tbk (Great River) tahun           2003.
     Selama izinnya dibekukan, Justinus dilarang memberikan jasa atestasi (pernyataan pendapat atau pertimbangan akuntan publik) termasuk audit umum, review, audit kerja dan audit khusus. Dia juga dilarang menjadi Pemimpin Rekan atau Pemimpin Cabang Kantor Akuntan Publik (KAP). Namun yang bersangkutan tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan serta wajib memenuhi ketentuan untuk mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut atas Surat Keputusan Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SK-BPPAP/VI/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa AP dikenakan sanksi pembekuan izin apabila AP yang bersangkutan mendapat sanksi pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP.
     Menurut Fuad Rahmany, Ketua Bapepam-LK, pihaknya sedang melakukan penyidikan terhadap AP yang memeriksa laporan keuangan Great River. Kalau ditemukan unsur pidana dalam penyidikan itu, maka AP tersebut bisa dijadikan sebagai tersangka. “Kita sedang proses penyidikan terhadap AP yang bersangkutan. Kalau memang nanti ditemukan ada unsur pidana, maka dia akan kita laporkan juga Kejaksaan,” ujar Fuad.
     Seperti diketahui, sejak Agustus lalu, Bapepam menyidik akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan Great River tahun buku 2003. Fuad menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great River. Sayangnya, dia tidak bersedia menjelaskan secara detail praktek konspirasi dalam penyajian laporan keuangan emiten berkode saham GRIV itu.
     Fuad juga menjelaskan tugas akuntan adalah hanya memberikan opini atas laporan perusahaan. Akuntan, menurutnya, tidak boleh melakukan segala macam rekayasa dalam tugasnya. “Dia bisa dikenakan sanksi berat untuk rekayasa itu,” katanya untuk menghindari sanksi pajak.Menanggapi tudingan itu, Kantor akuntan publik Johan Malonda & Rekan membantah telah melakukan konspirasi dalam mengaudit laporan keuangan tahunan Great River. Deputy Managing Director Johan Malonda, Justinus A. Sidharta, menyatakan, selama mengaudit buku Great River, pihaknya tidak menemukan adanya penggelembungan account penjualan atau penyimpangan dana obligasi. Namun dia mengakui metode pencatatan akuntansi yang diterapkan Great River berbeda dengan ketentuan yang ada. “Kami mengaudit berdasarkan data yang diberikan klien,” kata Justinus.
     Menurut Justinus, Great River banyak menerima order pembuatan pakaian dari luar negeri dengan bahan baku dari pihak pemesan. Jadi Great River hanya mengeluarkan ongkos operasi pembuatan pakaian. Tapi saat pesanan dikirimkan ke luar negeri, nilai ekspornya dicantumkan dengan menjumlahkan harga bahan baku, aksesori, ongkos kerja, dan laba perusahaan.
     Justinus menyatakan model pencatatan seperti itu bertujuan menghindari dugaan dumping dan sanksi perpajakan. Sebab, katanya, saldo laba bersih tak berbeda dengan yang diterima perusahaan. Dia menduga hal itulah yang menjadi pemicu dugaan adanya penggelembungan nilai penjualan. Sehingga diinterpretasikan sebagai menyembunyikan informasi   secara sengaja.
Johan Malonda & Rekan mulai menjadi auditor Great River sejak 2001. Saat itu perusahaan masih kesulitan membayar utang US$ 150 Juta kepada Deutsche Bank. Pada 2002, Great River mendapat potongan pokok utang 85 persen dan sisa utang dibayar menggunakan pinjaman dari Bank Danamon. Setahun kemudian Great River menerbitkan obligasi Rp 300 miliar untuk membayar pinjaman tersebut. “Kami hanya tahu kondisi perusahaan pada rentang 2001-2003,” kata Justinus.
     Sebelumnya Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah melimpahkan kasus penyajian laporan keuangan Great River ke Kejaksaan Agung pada tanggal 20 Desember 2006. Dalam laporan tersebut, empat anggota direksi perusahaan tekstil itu ditetapkan menjadi tersangka, termasuk pemiliknya, Sunjoto Tanudjaja.
      Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi Aryanto, Amir Jusuf, dan Mawar, yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang, dan aset hingga ratusan miliar rupiah di Great River. Akibatnya, Great River mengalami kesulitan arus kas dan gagal membayar utang.
     Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam terdapat indikasi penipuan dalam penyajian laporan keuangan. Pasalnya, Bapepam menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement penyajian account penjualan dan piutang dalam laporan tersebut. Kelebihan itu berupa penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil emisi obligasi yang tanpa pembuktian. Akibatnya, Great River kesulitan arus kas. Perusahaan tidak mampu membayar utang Rp 250 miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai Rp 400 miliar.
Sumber: Hukum Online, 11 Juli 2008

Pembahasan
     Seorang akuntan profesional, apakah terlibat dalam audit atau manajemen, atau sebagai seorang karyawan atau seorang konsultan, diharapkan bisa menjadi baik akuntan maupun seorang profesional. Hal ini berarti bahwa akuntan profesional diharapkan memiliki keahlian teknik khusus terkait dengan akuntansi dan harus lebih tinggi daripada pemahaman orang awam mengenai bidang terkait seperti kontrol manajemen, pengenaan pajak, atau sistem informasi. Selain itu, dia diharapkan berpegang teguh pada tugas umum profesional dan nilai-nilai yang sebelumnya dijelaskan, dan berpegang teguh pada standar spesifik yang ditetapkan oleh badan profesional yang dia termasuk di dalamnya.
     Kadangkala penyimpangan dari norma yang diharapkan ini semua bisa mengakibatkan berkurangnya kredibilitas untuk atau kepercayaan di dalam profesi tersebut secara keseluruhan. Sebagai contohnya, ke-empat kasus diatas merupakan contoh penyimpangan profesi sebagai seorang akuntan.
     Kasus diatas menjelaskan bahwa para akuntan membuat rekayasa akuntansi dalam membuat dan melaporkan laporan keuangan suatu entitas, misal di kasus 1 ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu. Mereka memberikan laporan bank tersebut dalam keadaan sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Di kasus 2, Worldcom mengumumkan laba sebesar USD 3.9 milyar antara Januari 2001 sampai Maret 2002 yang  seharusnya tidak ada laba sebesar itu bahkan malah merugi. Di kasus 3, PMA melakukan konspirasi dengan auditor dari akuntan publik agar melaporkan rugi selama lima tahun terakhir secara berturut-turut agar terhindar dari pajak. Di kasus 4, Great River melakukan konspirasi dengan akuntan publik agar laporan keuangannya di mark up. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam terdapat indikasi penipuan dalam penyajian laporan keuangan. Pasalnya, Bapepam menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement penyajian account penjualan dan piutang dalam laporan tersebut. Kelebihan itu berupa penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil emisi obligasi yang tanpa pembuktian.
     Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap akuntan harus menggunakan pertimbangan moral dan profesionalitas dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Profesionalitas harus selalu dijunjung tinggi sehingga keandalan dan keabsahan laporan keuangan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.


Kasus 1
     Terkait kasus rekayasa opini, pasti terlintas kasus Enron yang melibatkan Arthur Andersen. Selain kasus tersebut,  ada beberapa kasus pelanggaran terhadap standar akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan rekanan Andersen, yang meloloskan audit dengan opini unqualified.
     Contohnya seperti Merck (menggelembungkan pendapatan—dan pengeluaran—mereka hingga sekitar US$14 milyar selama tiga tahun terakhir), WorldCom (keliru membukukan biaya perusahaan sebesar US$3,8 milyar dan laba yang diraup selama 5 caturwulan terakhir sejak awal 2001 sudah raib), KPNQwest (perusahaan pailit karena jumlah kerugian yang sebenarnya mancapai jumlah yang lebih besar sebesar 60% dari jumlah yang dilaporkan), dan runtuhnya Bank Summa yang dinyatakan bangkrut beberapa bulan setelah KAP Arthur Anderson menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangannya.

Kasus 2
Auditor BPK Jabar Ditahan KPK
Hukum & Kriminal / Rabu, 30 Juni 2010 22:10 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (30/6) malam, menahan auditor Badan Pemeriksa Keuangan perwakilan Jawa Barat III, Enang Hermawan. Ia diduga terkait kasus dugaan suap yang diduga melibatkan auditor BPK Jawa Barat dan pegawai Pemerintah         Kota     Bekasi.
Enang ditahan setelah menjalani pemeriksaan selama 12 jam di gedung KPK, Jakarta. Dia dimasukkan ke dalam mobil tahanan pada pukul 22.20 WIB. Enang tidak bersedia memberikan keterangan. Dia langsung memasuki mobil tahanan bernomor polisi B 2040 BQ dengan
   dikawal            beberapa         petugas           KPK.
Christine Sutjipto, pengacara Enang menjelaskan, kliennya akan ditahan di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Namun, Christine menolak berkomentar tentang kasus yang menjerat kliennya.
"Saya belum bisa berkomentar karena ini kan masih dalam proses pemeriksaan penyidikan," katanya.
Enang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap yang diduga melibatkan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat dan pegawai Pemerintah Kota Bekasi.
"KPK menetapkan tersangka baru dalam kasus itu atas nama EH," kata Juru Bicara KPK, Johan
    Budi     di            Jakarta,           Rabu    malam.
Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan tiga tersangka lain. Adalah Kepala Bidang Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Keuangan, dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Bekasi Herry Suparjan (HS), Inspektur Wlayah Kota Bekasi Heri Lukman (HL), dan Kepala Sub Auditoriat BPK Jabar Wilayah
  III         Suharto            (S).
Tim KPK menangkap Suharto karena menerima uang sebanyak Rp200 juta dari dua pejabat Pemkot
       Bekasi,            Herry   Suparjan          dan      Heri     Lukman.
Dalam penangkapan, tim KPK juga menemukan uang senilai Rp40 juta dalam tas kerja Suharto dan uang Rp32 juta yang tersimpan dalam sejumlah amplop.
Johan Budi mengatakan, Enang masih akan menjalani pemeriksaan intensif di gedung KPK. Dugaan sementara, Enang diduga ikut menerima uang suap yang diterima Suharto.
Suap itu diduga untuk memanipulasi hasil audit yang dilakukan BPK Jabar terhadap laporan keuangan Pemerintah Kota Bekasi yang intinya agar hasil audit tersebut dinyatakan wajar tanpa
pengecualian  (WTP).
Akibat perbuatan itu, KPK menjerat para tersangka dengan pasal 5 ayat (1) dan atau pasal 5 ayat (2) dan atau pasal 11 dan atau pasal 12 huruf a Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(Ant/BEY)
Top of Form
Pembahasan
     Kasus rekayasa opini merupakan kasus yang marak terjadi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Contoh kasus rekayasa opini yang terjadi di luar negeri ditunjukkan oleh kasus 1, sedangkan kasus 2 terjadi baru-baru ini di dalam negeri di kalangan pemerintahan, yaitu BPK Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bekasi. Para akuntan, terutama akuntan publik yang bertupoksi menyampaikan opini dalam kapasitasnya sebagai seorang auditor dalam hal ini telah melanggar  prinsip-prinsip dalam kode etik akuntan publik sebagai berikut.
1.      Tanggung jawab profesi
Sebagai seorang auditor, akuntan bertanggung jawab untuk menyampaikan opini yang benar dan tidak menyesatkan kepada masyarakat atau para pihak yang berkepentingan (stakeholder). Dalam hal ini, baik dalam kasus 1 maupun kasus 2, Arthur Andersen dan Enang Hermawan selaku auditor telah merekayasa opini menjadi wajar tanpa syarat sehingga menyesatkan masyarakat.
2.      Kepetingan umum
Seperti para profesional lain, seorang akuntan berkewajiban untuk mengutamakan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadinya maupun kepentingan pihak lain. Dalam kasus 1 dan 2 Arthur Andersen dan Enang Hermawan telah mementingkan kepentingan pribadi dan pihak yang memberi mereka imbalan.
3.      Integritas
Menurut Mulyadi (2002), integritas ialah kualitas yang mendasari kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa, pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
Dalam hal ini, Arthur Andersen dan Enang Hermawan telah kehilangan integritasnya sebagai seorang akuntan publik.
4.      Objektivitas
Prinsip Objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menujukkan objektivitas mereka di berbagai situasi. Anggota dalam praktik akuntan publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit intern yang bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintah. Mereka harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara objektivitas (Mulyadi, 2002).
Dalam kasus 1 dan 2, Arthur Andersen dan Enang Hermawan melupakan prinsip objektivitas karena telah berada di bawah pengaruh pihak yang member mereka imbalan, dalam hal ini pihak auditee.
5.      Perilaku profesional
Akuntan bukan hanya sebuah pekerjaan, melainkan merupakan suatu profesi. Oleh sebab itu, para akuntan hendaknya berperilaku profesional dalam menjalankan profesinya dan mampu menahan godaan berupa imbalan atau gratifikasi, dalam kasus di atas berupa uang, di tengah krisis ekonomi dan krisis moral yang sedang melanda bangsa ini. Prinsip-prinsip dalam kode etik akuntan seharusnya menjadi pedoman bagi para akuntan dalam menjalankan profesinya.
Minggu, 21 November 2010

Kasus
     Kasus Bank Lippo, mengadakan dua versi laporan keuangan per 30 September 2002, yang diumumkan di media massa dan diserahkan ke BEJ. Perbedaan tersebut terkait dengan pengakuan nilai aktiva yang diambil alih, yang berakibat memberikan informasi menyesatkan bagi para pengguna informasi keuangan. Akibat rekayasa keuangan tersebut seolah-olah struktur modal bank Lippo metrosot, sehingga kemungkinan akan mendapatkan kucuran dana dari pemerintah. Sanksi untuk kasus tersebut, KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sanjaya dikenakan sanksi 3,5 juta karena dinilai terlambat menyampaikan opini atas laporan keuangan.

Pembahasan
     Kesalahan yang dilakukan oleh KAP adalah terlambat dalam menyampaikan opini yang menyebabkan  Bank Lippo dapat menerbitkan dua laporan yang berbeda. Seharusnya ketika akuntan selesai melakukan audit, akuntan segera mengeluarkan opini sehingga dari opini sang akuntan tersebut dapat diambil tindakan lebih lanjut. Hal ini tentu tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip etika profesi yang tertuang dalam Kode Etik Umum Akuntan Indonesia lebih tepatnya tentang kompetensi dan kehati-hatian professional. Jelas bahwa ketika seorang akuntan atau auditor terlambat dalam menyampaikan opini maka akuntan atau auditor tersebut dinalai tidak berkompeten. Lebih lanjut, pemberi kerja juga tidak dapat menerima manfaat dari akuntan tersebut karena terlambatnya akuntan dalam mengeluarkan opini.
aku memujamu
begitu menyanjungmu
seperti embun menyampaikan terima kasihnya pada dedaunan
walau tak terkatakan

apalah artinya air hujan jika telah menyentuh tanah
hanya basah yang terkenang
dedaunanlah yang berbaik hati menampung tetes-tetes air kehidupan
menaunginya, mendampinginya, menjaganya, membimbingnya, dan mengajarkan kehidupan
hingga bulir-bulir air itu hidup lebih lama
karena tak ada yang kekal di dunia fana

takkan ada yang menantikan air hujan
jika hanya genangan becek yang ia ciptakan
sampai dedaunan mengajarkan
jadilah indah
jadilah embun yang menyejukkan

dan bagiku
selamanya
kaulah dedaunan itu

- Bintaro, bersama embun yang mengingatkanmu padaku -

by
Ranindya
pijar bintang pendar rembulan
jauh di sudut kelam malam
mampukah kau ingat terakhir kali bertukar cerita?
ia merindukanmu
jika kini sorot terang lampu kota menyilaukanmu
sempatkanlah sejenak menengadah
picingkan pandanganmu
temukanlah ia yang makin meredup karena merindukanmu

- Bintaro, di bawah mendung semilir muson -

By Ranindya
secarik kertas putih terabaikan di sudut meja
lima bulan sudah ia di sana
di tempat yang persis sama
tanpa tau masanya kelak pemilik nama yang tertulis setelah kata kepada
tergerak membaca pesan itu

mungkin setahun atau dua tahun lagi
hanya Tuhan yang tahu
namun isi pesan itu takkan berubah
walau tintanya mungkin memudar
walau putihnya tak lagi cemerlang

isi pesan itu
layaknya hati penulisnya
memastikan pengabdian, tulus selamanya

- Setelah aku menjadi istrimu kelak, kan kuabdikan hidupku untukmu,
   mendampingimu, selamanya, sampai ku menutup mata -

Bintaro, by Ranindya

p.s. Sedih abang malam-malam nyuci baju sendiri :(